Majalahparfum – Parfum dan jenis kelamin. Pada dasarnya semua wewangian bisa digunakan laki-laki dan perempuan. Adanya pengelompokan wewangian untuk laki-laki dan perempuan hanyalah sesuatu yang bersifat konstruktif.
Pembagian ini bermula pada pertengahan abad ke-20. Saat di mana ketersediaan dan pilihan parfum sangat banyak dan beragam. Maka, pakar pemasaran dan periklanan mulai mengelompokkan parfum dan memasukkan mereka ke dalam kelompok pemakai tertentu.
Feminin dan maskulin
Dalam sejarahnya, parfum tak mengenal aroma pria dan wanita. Perempuan dan laki-laki Mesir sama-sama membalur diri dengan minyak musk. Hungary Water yang ditujukan untuk Ratu Elizabeth dari Hungari menggunakan note lavender dan sage yang kini dianggap sebagai wewangian maskulin.
Kita sering mencari parfum pria beraroma vanila, misalnya. Padahal, tidak ada aroma vanila maskulin atau feminin. Begitu pun dengan aroma dupa, musk, ambergris ataupun gaharu. Jadi, perlahan kita harus belajar untuk mengabaikan pembagian aroma berdasar jenis kelamin. Apapun aroma yang kamu suka, jangan pernah berpikir ini jenis aroma untuk laki-laki atau perempuan. Karena mereka yang mencium wangi parfum kamupun pada dasarnya menikmati aroma tersebut tanpa memikirkan apakah aroma tersebut feminin atau maskulin.
Genderisasi demi penjualan
Produsen parfumlah yang mulai memecah belah jenis wewangian berdasarkan gender pada abad ke-20 ketika mereka mengetahui bahwa penjualan mereka meningkat dua kali lipat jika mereka mampu meyakinkan pelanggan bahwa parfum ini untuk pria dan parfum itu untuk wanita. Padahal seharusnya tidak demikian. Hal itu diperparah dengan para pengguna parfum yang tidak yakin dengan naluri mereka sendiri.
Christian Dior Diorella misalnya, parfum ini sebenarnya cocok saja bila para pria menggunakannya. Meskipun note floral mendominasi, ia juga mengandung oak moss dan vetiver untuk base note dan kita tidak melihat notes-notes tersebut secara khusus terklasifikasi jenis kelamin pria ataupun wanita.